KESANTUNAN BERBAHASA CUSTOMER
SERVICE PADA BANK
DALAM BERINTERAKSI DENGAN NASABAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk berinteraksi dengan
sesamanya. Pada hakikatnya, setiap manusia tidak dapat hidup sendiri,
bersosialisasi dengan manusia yang lain adalah sebuah keharusan dan sudah
menjadi fitrah bagi setiap manusia. Hal ini dikarenakan bahasa adalah alat
komunikasi dalam kehidupan masyarakat, yang berupa bunyi ujaran yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi,
keberadaannya memiliki peran utama dalam masyarakat. Komunikasi melalui bahasa
memungkinkan setiap orang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan
sosialnya serta untuk mempelajari kebiasaan, kebudayaan, adat istiadat serta
latar belakang lawan komunikasinya.
Selain itu, bahasa juga merupakan
alat pertukaran informasi. Namun, kadang kala informasi yang dituturkan oleh
komunikator memiliki maksud yang susah untuk dipahami oleh lawan komunikasinya.
Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan dengan baik apabila makna yang
disampaikan oleh penutur dapat diresapi oleh lawan tutur sehingga tidak
menimbulkan salah penafsiran. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan
tidak berjalan dengan baik apabila makna yang disampaikan penutur diresapi dan
dipahami oleh lawan tutur tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh penutur.
Hadirnya fenomena ini menyebabkan
munculnya sebuah pertanyaan, bagaimana seorang manusia hidup bersosialisasi
dengan manusia yang lain? Jawabnya adalah dengan melakukan tindak tutur. Ketika
seseorang melakukan tindak tutur yang baik dan benar, yaitu tindak tutur yang
tidak melukai lawan bicara, maka proses bersosialisasi pun akan berjalan dengan
lancar.
Atas dasar inilah, pragmatik
hadir sebagai jembatan dalam melakukan tindak tutur yang baik. Pragmatik
merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang berkaitan erat dengan tindak
tutur. Konteks dalam suatu tindak tutur memiliki peran yang sangat penting.
Konteks dalam suatu situasi yang berbeda akan mempengaruhi makna sebuah tindak
tutur yang sama. Jadi, penggunaan sebuah bahasa dapat mempengaruhi maksud dan
tujuan dari tindak tutur yang disampaikan oleh pelaku tindak tutur. Di dalam
ilmu pragmatik, bahasa diteliti tidak lepas dan harus sesuai dengan konteks
bahasa yang dimaksud. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dan pragmatik juga memiliki ruang kesantunan dalam
berbahasa.
Penilaian kesantunan berbahasa
yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya
kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di masyarakat
dengan penggunaan, pemilihan kata yang baik dengan memperhatikan di mana,
kapan, kepada siapa, dan dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Budaya
kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan
memperlihatkan sejatinya kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan dan
berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik, karena
hakikatnya manusia adalah ”makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi
verbal yang sudah sepatutnya beretika.
Salah satu ruang untuk
bersosialisasi yaitu sebuah lembaga perbankan adalah interaksi antara customer
service dengan nasabah. Customer service adalah orang yang memberikan
bantuan/pelayanan kepada pelanggan, artinya customer service adalah orang yang
berinteraksi langsung dengan pelanggan sebagai salah satu ujung tombak
terpenting bagi sebuah lembaga dalam membangun kepuasan pelanggan. Sedangkan
nasabah adalah seseorang ataupun badan usaha yang mempunyai rekening
simpanan/pinjaman dan melakukan transaksi simpanan/pinjaman tersebut pada
sebuah bank. Hal inilah yang menjadi dasar utama bahwa seorang customer service
haruslah mampu beretika dalam berbahasa khususnya ketika berinteraksi dengan
nasabah dalam lembaga perbankan.
Dari uraian pada latar belakang
masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah ” Kesantunan
Berbahasa Customer Service pada Bank di Airmadidi dalam Berinteraksi dengan
Nasabah”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesantunan
berbahasa customer service pada bank di Airmadidi dalam berinteraksi dengan
nasabah?
1.3 Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah
di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan data tentang kesantunan berbahasa customer service pada bank di
Airmadidi dalam berinteraksi dengan nasabah.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat secara teoretis dan secara praktis. Secara teoretis,
hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk perkembangan
teori-teori pragmatik dalam penelitian selanjutnya, perbaharuan menyeluruh
tentang kesantunan berbahasa dan pengembangan ilmu bahasa.
Secara praktis, hasil penelitian
ini bermanfaat bagi peneliti, lembaga perbankan dan mahasiswa lainnya. Bagi
peneliti dapat termotivasi serta menambah pengetahuan tentang kesantunan
berbahasa customer service pada lembaga perbankan dalam berinteraksi dengan
nasabah. Bagi lembaga perbankan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
bacaan dan menambah pengetahuan para customer service dalam berinteraksi dengan
nasabah agar terjalin komunikasi yang baik antara kedua belah pihak. Sedangkan,
bagi mahasiswa lain atau pembaca, dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk
menambah pemahaman tentang konsep kesantunan berbahasa dalam berinteraksi
dengan lawan komunikasi serta sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan
suatu ide atau gagasan baru di masa yang akan datang.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini tentang kesantunan
berbahasa customer service pada bank di Airmadidi dalam berinteraksi dengan
nasabah. Mengingat cakupan ruang penelitian terlalu luas, maka peneliti
membatasi masalah ini pada kesantunan berbahasa customer service pada bank di
Airmadidi dalam berinteraksi dengan nasabah yaitu pada Bank BRI.
1.6 Definisi Operasional
Untuk menyamakan pemahaman antara
peneliti dengan pembaca, maka perlu dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut:
1) Kesantunan berbahasa adalah
tata cara berbahasa atau etika berbahasa yaitu kesopanan dan kehalusan dalam
menggunakan bahasa ketika berinteraksi dengan seseorang.
2) Customer service adalah orang
yang melayani, berinteraksi, berkomunikasi langsung dengan nasabah dan calon
nasabah.
3) Bank di Airmadidi adalah bank yang menjadi objek penelitian
ini, yaitu Bank Rakyat Indonesia.
5) Berinteraksi adalah menjalin
komunikasi atau bercakapan, yaitu antara customer service dengan nasabah pada
lembaga perbankan.
6) Nasabah adalah orang yang
telah menjadi pelanggan bank, mempunyai simpanan/pinjaman dan melakukan
transaksi simpan-pinjam tersebut pada bank yang terdapat di Airmadidi.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Pengertian Pragmatik
Bahasa merupakan media bagi
manusia untuk mewujudkan suatu komunikasi. Masyarakat tutur selalu mengharapkan
apa yang disampaikannya dalam berkomunikasi dapat dipahami oleh mitra tuturnya.
Agar hal ini dapat diwujudkan, maka ilmu tentang kebahasaan atau yang sering
disebut dengan ilmu pragmatik sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Hal ini
dikarenakan ilmu pragmatik merupakan studi yang mempelajari tentang makna
satuan bahasa yang terikat konteks.
Levinson (dalam Nababan, 1987:
2), ia menyatakan bahwa ”Pragmatik merupakan, 1) kajian dari hubungan antara
bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa, dan 2) kajian
tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan
konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”. Maksudnya, studi
pragmatik adalah studi yang mempelajari bahasa sesuai dengan konteks atau
situasi si penutur dan lawan tutur, selain itu pragmatik juga merupakan studi
yang memaparkan kemampuan pemakai bahasa dalam menjabarkan kalimat-kalimat
sesuai dengan situasi kalimat tersebut diujarkan.
Nababan (1987: 3), ia
mengungkapkan bahwa ”Pragmatik adalah aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu
pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud
pembicara sesuai dengan konteks pemakaiannya”. Maksud dari pernyataan Nababan
di atas adalah pragmatik merupakan kajian tentang pemakaian bahasa, baik berupa
bentuk maupun makna bahasa sesuai dengan situasi pembicara dan lawan bicaranya.
Selanjutnya, Leech (1993: 8),
mengemukakan bahwa ”Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya
dengan situasi-situasi ujar (speech situations ) yang meliputi unsur-unsur
penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan
tempat”. Maksudnya, pragmatik merupakan studi yang mengkaji tentang makna
bahasa ditinjau dari situasi si penutur bahasa dan lawan tuturnya, yang meliputi
siapa penuturnya dan siapa lawan tuturnya, dalam situasi yang bagaimana serta
kapan dan di mana tuturan itu terjadi.
Selain itu, Chaer dan Agustina
(2004: 57), ia menyatakan bahwa ”Pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna
menurut tafsiran pendengar”. Maksudnya, studi pragmatik mengkaji tentang makna
bahasa penutur sesuai dengan apa yang ditafsirkan oleh lawan tutur.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan suatu kajian yang
menelaah tentang bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam
menafsirkan kalimat. Selain itu, pragmatik juga menelaah makna dalam kaitannya
dengan situasi ujaran yang menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sebuah
ujaran diperlukan pengetahuan kebahasaan sesuai dengan konteks pemakaiannya.
2.2 Pengertian Tindak Tutur
Dalam berkomunikasi secara lisan,
maka secara langsung penutur menyampaikan informasi, baik gagasan atau idenya
kepada lawan tutur. Melalui proses komunikasi ini terjadi peristiwa tutur.
Jadi, peristiwa tutur dikatakan sebagai proses terjadinya interaksi linguistik
dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur
dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi
tertentu.
Chaer (2010: 27), ia menyatakan
bahwa ”Tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan
yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu”. Maksudnya, tindak tutur
merupakan ujaran yang berupa pikiran atau gagasan dari seseorang yang dapat
dilihat dari makna tindakan atas tuturannya tersebut.
Selanjutnya, Yule (1996: 82), ia
menyatakan bahwa ”Tindak tutur merupakan tindakan-tindakan yang ditampilkan
lewat tuturan, misalnya usaha seseorang dalam mengungkapkan diri mereka. Mereka
tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata saja, tetapi mereka
memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan itu”. Maksudnya sudah jelas
bahwa jika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu maka ia akan menunjukkannya
melalui tindakan yang disampaikan dengan ujaran.
Berdasarkan pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu cara yang menegaskan
bahwa suatu bahasa dapat dipahami dengan baik jika diungkapkan sejalan dengan situasi
dan konteks terjadinya bahasa tersebut, baik berupa psikologis maupun sosial.
Selain itu, tindak tutur merupakan suatu aspek yang membentuk peristiwa tutur
pada proses komunikasi.
2.3 Jenis-jenis Tindak Tutur
Sebagai makhluk pemakai bahasa
dalam berkomunikasi dengan sesamanya, maka manusia tidak terlepas dari ranah
pertuturan. Pertuturan akan berlangsung dengan baik, apabila penutur dan lawan
tutur itu menaati aturan-aturan dalam bertutur.
Austin (dalam Chaer, 2010:
26-29), ia menyatakan bahwa ”Teori tindak tutur dapat dirumuskan menjadi tiga
bentuk tindakan yang berbeda, yaitu:
1) Tindak tutur lokusi adalah
tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying
Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.
2) Tindak tutur ilokusi selain
menyatakan sesuatu juga menyatakan melakukan sesuatu atau The Act of Doing
Something.
3) Tindak tutur perlokusi adalah
tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau The
Act of Affective Someone .
Atas dasar pandangan Austin di
atas, dapat dirumuskan bahwa tindak tutur lokusi adalah suatu tindak tutur yang
menyatakan sesuatu kepada pendengar tanpa maksud untuk melakukan sesuatu.
Misalnya pada tuturan ”Badan saya
lelah sekali”.
Penutur tuturan di atas tidak
bermaksud tertentu kepada mitra tutur. Tuturan ini bermakna bahwa si penutur
sedang dalam keadaan lelah, tanpa bermaksud meminta untuk diperhatikan dengan
cara dipijat oleh si mitra tutur. Penutur hanya mengungkapkan keadaan yang
sedang dialaminya saat itu, ia hanya menginformasikan sesuatu tanpa cenderung
untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
Tindak tutur ilokusi adalah suatu
tindak tutur yang menyatakan tindakan melakukan sesuatu, selain memberi
informasi juga berisi tindakan.
Misalnya pada tuturan ”Andi
sedang sakit”.
Jika kalimat di atas dituturkan
kepada mitra tutur yang sedang menyalakan televisi dengan volume yang sangat
tinggi, berarti tuturan ini tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi,
tetapi juga menyuruh agar mengecilkan volume atau bahkan mematikan televisi.
Sedangkan tindak perlokusi adalah
suatu tindak tutur yang memberi pengaruh/efek kepada orang lain.
Misalnya pada tuturan ”Minggu
lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan”.
Tuturan di atas, selain memberi
informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan di keluarga, juga bila
dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang untuk hadir pada
resepsi pernikahan, bermaksud juga meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan
adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Sedangkan menurut Nababan (1987:
4), ia mengemukakan tiga konsep tindak tutur, yaitu sebagai berikut:
1) Konsep lokusi (locution) yang
memandang suatu kalimat/ujaran sebagai suatu ”proposisi” yang terdiri dari
subjek/topik dan predikat/komentar.
2) Konsep ilokusi ( illocution)
yang memandang suatu kalimat/ujaran sebagai tindakan bahasa.
3) Konsep perlokusi (perlocution)
yaitu efek atau apa yang dihasilkan kalimat/ujaran pada pendengaran atau
penerimaan pendengar atas ujaran itu.
Maksud dari pernyatan Nababan di
atas yaitu, konsep lokusi merupakan suatu konsep tindak tutur yang terdiri dari
suatu permasalahan dan adanya komentar dari pihak lawan tutur. Lalu, konsep
ilokusi merupakan suatu konsep tindak tutur yang berpangkal pada ujaran sebagai
tindakan bahasa seperti, menyuruh, memanggil, menyampaikan, menyatakan setuju,
menyampaikan keberatan, dan sebagainya. Sedangkan, konsep perlokusi adalah
suatu konsep tindak tutur yang memberikan efek kepada ujaran penutur terhadap
lawan tuturnya.
Berdasarkan kedua pendapat di
atas maka dapat disimpulkan bahwa teori atau konsep tindak tutur dapat
dirumuskan ke dalam tiga bentuk tindakan yang berbeda, yaitu 1) tindak lokusi,
2) tindak ilokusi, dan 3) tindak perlokusi. Ketiga tindak tutur tersebut saling
berhubungan dan berkesinambungan karena dalam bertutur harus memahami
konsep-konsep tindak tutur agar proses komunikasi berjalan sesuai dengan yang
diharapkan oleh penutur dan lawan tutur.
2.4 Pengertian Kesantunan Berbahasa
Ketika berkomunikasi dengan mitra
tutur, penutur harus menjalin interaksi yang baik melalui berbagai macam
tuturan. Agar penutur dapat memahami berbagai macam tuturan, maka ia harus
menguasai berbagai seluk-beluk komunikasi yang baik. Salah satunya adalah
dengan mengunakan bahasa yang santun.
Ukuran kesantunan berbahasa
ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti ketepatan dan kejelasan tuturan,
saling mematuhi dan saling menghargai pihak lain, berusaha menyelamatkan muka
dan perlu adanya kerja sama yang baik pula. Kesantunan berbahasa dapat
dilakukan karena adanya dorongan oleh sikap menghargai dan sikap hormat
terhadap pihak lain sehingga dengan adanya sikap saling menghargai dan saling
menghormati pihak lain dalam situasi pertuturan akan menghasilkan komunikasi
yang efektif sesuai dengan yang dikehendaki.
Brown dan Levinson (dalam Chaer,
2010: 11), ia menyatakan bahwa ”Teori tentang kesantunan berbahasa itu berkisar
atas nosi muka atau wajah yaitu ’citra diri’ yang bersifat umum dan selalu
ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Selain itu, kesantunan ini dapat
ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan
tuturnya di dalam proses berkomunikasi”. Maksudnya, kesantunan berbahasa
merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan
emosional penuturnya, karena dalam komunikasi penutur dan lawan tutur tidak
hanya dituntut untuk menyampaikan kebenaran tetapi harus tetap berkomitmen
untuk menjaga keharmonisan hubungan, hal ini terjalin apabila setiap peserta
tutur dapat saling menghargai. Dengan kata lain, baik penutur maupun mitra
tutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Kesantunan berbahasa
erat kaitannya dengan etika berbahasa, hal ini dikarenakan etika berbahasa juga
mengatur tentang tata cara menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.
Sejalan dengan hal tersebut,
Chaer dan Agustina (2004: 172), menyatakan bahwa ”Etika berbahasa erat
berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma sosial, dan sistem budaya yang
berlaku dalam satu masyarakat. Etika berbahasa ini akan mengatur 1) apa yang
harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan
tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu, 2)
ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosioliguistik
tertentu, 3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan
menyela pembicaraan orang lain, 4) kapan kita harus diam, dan 5) bagaimana
kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara”.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas
bahwa kesantunan berbahasa merupakan etika dalam berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa sebagai media tuturan. Etika tersebutlah yang mengatur tata
cara berbahasa secara santun dalam berkomunikasi dengan mitra tutur.
2.5 Fungsi Kesantunan Berbahasa
Searle (dalam Chaer, 2010: 29),
ia menyatakan bahwa ”Tindak tutur terbagi menjadi lima kategori yang menjadi
fungsi kesantunan dalam berbahasa atas dasar maksud penutur ketika berbicara,
yaitu:
1) Representatif, yaitu tindak
tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya.
Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.
2) Direktif, yaitu tindak tutur
yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan
yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut,
menyarankan dan menantang.
3) Ekspresif, yaitu tindak tutur
yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi
mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan
terima kasih dan mengkritik.
4) Komisif, yaitu tindak tutur
yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam
tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah dan mengancam.
5) Deklarasi, yaitu tindak tutur
yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status dan
keadaan) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
dan memberi maaf.
Berdasarkan pendapat Searle di
atas dapat disimpulkan bahwa fungsi tindak tutur dalam berbahasa dengan santun
dibagi atas lima golongan, yaitu 1) representatif, 2) direktif, 3) ekspresif,
4) komisif, dan 5) deklarasi. Kelima pembagian ini merupakan tindak tutur yang
mengatur terjalinnya komunikasi yang baik antara penutur dan mitra tutur.
Leech (1993: 162), ia menyatakan
bahwa ”Derajat kesantunan yang dinyatakan oleh seorang penutur akan sangat
ditentukan oleh situasi saat berlangsungnya pertuturan. Oleh karena itu, Leech
membagi fungsi ilokusi sebuah pertuturan menjadi empat jenis, yaitu:
1) Kompetitif (competitive) :
tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial.
2) Menyenangkan (convivial) :
tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial.
3) Bekerja sama (collaborative) :
tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial.
4) Bertentangan (conflictive) :
tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial.
Pertama, kompetitif (competitive)
, yang pada kenyataanya sasaran ilokusi pertuturan tak sejalan dengan tuntutan
sosial, seperti dalam bentuk memerintah, bertanya, menuntut, meminta dan
mengemis. Kedua, menyenangkan ( convivial), yang hakikatnya memang berisi
ungkapan santun, sehingga dengan kata lain sasaran ilokusi pertuturan sejalan
dengan tuntutan sosial. Ini terwujud dalam realisasi pertuturan seperti
menyapa, mengundang, menawarkan barang/jasa, memberikan ucapan selamat, dan
yang sejenisnya.
Ketiga, bekerja sama
(collaborative) , yang derajat kesantunannya tidak terlalu bermasalah,
mengingat sasaran ilokusi pertuturan dari jenis ini memang berbeda dengan
tuntutan sosial. Hal ini terlihat dalam realisasi pertuturan seperti
menyampaikan pengumuman, membuat pernyataan, dan mengajarkan. Keempat,
bertentangan (conflictive), yang sasaran ilokusi pertuturannya memang
berbenturan dengan harapan anggota masyarakat sosial. Dalam hal ini, kesantunan
berbahasa tidak menjadi perhatian penutur, karena hakikat pertuturan jenis ini
adalah memang bertentangan, misalnya, untuk menyinggung. Hal ini terlihat dalam
realisasi pertuturan ketika marah, mengancam, dan sebagainya.
2.6 Bentuk-bentuk Kesantunan Berbahasa
Brown dan Levinson (dalam Chaer,
2010: 11), menyatakan bahwa ”Bentuk kesantunan berbahasa terbagi atas dua muka
atau wajah (face ), yaitu:
1) Muka negatif, yaitu mengacu
pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan
membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari
keharusan mengerjakan sesuatu.
2) Muka positif, yaitu mengacu
pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya
diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan dan patut
dihargai.
Atas dasar pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa bentuk kesantunan berbahasa terbagi menjadi dua, yaitu
kesantunan negatif yang berfungsi untuk menjaga muka negatif dan kesantunan
positif yang berfungsi menjaga muka positif. Hal ini dikarenakan kesantunan
negatif menciptakan jarak sosial dan kesantunan positif meminimalkan jarak
sosial.
2.7 Prinsip-prinsip Kesantunan Berbahasa
Dalam berbahasa tentunya ada
rambu-rambu yang harus ditaati, salah satunya adalah tentang kesantunan
berbahasa, yang memiliki batasan tersendiri. Leech (dalam Rahardi, 2005:
59-66), ia menyatakan bahwa ”Seseorang dapat dikatakan sudah memiliki
kesantunan berbahasa jika sudah dapat memenuhi prinsip-prinsip kesantunan yang
dijabarkan menjadi maksim (ketentuan/ajaran), yaitu:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact
Maxim ), yaitu maksim yang menggariskan bahwa setiap para peserta pertuturan
hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Jika
dalam bertutur, seseorang berpegang pada maksim kebijaksanaan, ia dapat
menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap yang kurang santun terhadap
mitra tutur.
Misalnya :
Tuan rumah : ”Silakan makan saja
dulu, nak! Kami semua sudah mendahului”.
Tamu : ”Wah, saya jadi tidak
enak, Bu”.
Di dalam tuturan di atas tampak
jelas bahwa apa yang dituturkan tuan rumah sangat memaksimalkan keuntungan bagi
tamu. Bahkan, sering kali ditemukan minuman dan makanan yang disajikan kepada
tamu diupayakan agar layak diterima dan dinikmati oleh tamu tersebut.
2) Maksim Kedermawanan
(Generosity Maxim ), yaitu maksim kemurahan hati, yang mengharuskan peserta
tutur untuk menghormati rang lain. Penghormatan tersebut terjadi jika peserta
tutur dapat meminimalkan keuntungan bagi dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi
pihak lain.
Misalnya:
Anak kos A : ”Mari, saya cucikan
baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor”.
Anak kos B : ”Tidak usah, Mbak.
Nanti siang saya akan mencuci juga kok”
Di dalam tuturan di atas, dapat
dilihat dengan jelas bahwa si A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain
dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotor si B. Hal
tersebut merupakan realisasi maksim kedermawanan atau kemurahan hati dalam bermasyarakat.
3) Maksim Penghargaan (
Approbation Maxim ), yaitu maksim yang membuat orang akan dapat dianggap santun
apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak
lain. Sehingga, para peserta tutur tidak saling mengejek atau merendahkan pihak
lain.
Misalnya:
Dosen A : ”Pak, tadi saya sudah
memulai kuliah perdana dengan materi puisi”.
Dosen B : ”Oya, tadi saya
mendengar pembacaan puisinya jelas sekali”.
Dalam pertuturan di atas,
pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B ditanggapi
dengan sangat baik, bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen B. Maka,
dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.
4) Maksim Kesederhanaan (Modesty
Maxim ) atau maksim kerendahan hati, yaitu maksim yang mengharapkan peserta
tutur dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya
sendiri.
Misalnya:
Ibu A : ”Nanti Ibu yang memberi
sambutan ya, dalam rapat PPK”.
Ibu B : ”Waduh… nanti grogi
saya”.
Pernyataan di atas, merupakan tuturan
antara Ibu PPK ketika akan mengadakan rapat. Ibu A menunjukkan kerendahan hati
kepada Ibu B, dengan memintanya menjadi orang yang memberikan sambutan dalam
rapat dan bukan dirinya, karena orang akan dikatakan sombong apabila di dalam
kegiatan bertutur selalu mengunggulkan dirinya sendiri.
5) Maksim Permufakatan (
Agreement Maxim ) atau maksim kecocokan, yaitu maksim yang mengharuskan para
peserta tutur dapat saling membina kococokan di dalam kegiatan bertutur. Jika
terdapat kecocokan antara keduanya, maka mereka dapat dikatakan bersikap
santun.
Misalnya:
Guru A : ”Ruangannya gelap ya,
Bu!”
Guru B : ”He…eh! Saklarnya mana
ya?”
Pernyataan di atas, merupakan
tuturan seorang guru kepada rekannya pada saat mereka berada di ruang guru.
Ketika guru A menyatakan ruangannya gelap, respon guru B dengan menanyakan mana
saklarnya menunjukkan bahwa guru A dan guru B memiliki kecocokan.
6) Maksim Kesimpatisan ( Sympath
Maxim ), yaitu maksim yang mengharapkan peserta tutur dapat memaksimalkan sikap
simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
Misalnya:
Ani : ”Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : ”Innalillahiwainnailaihi
rajiun. Aku ikut berduka cita.”
Pernyataan di atas merupakan
tuturan seorang karyawan kepada rekannya yang memiliki hubungan erat saat
mereka berada di ruang kerja. Pernyataan Ani yang memberitahukan kalau neneknya
meninggal mendapat simpati dari Tuti rekan kerjanya dengan ikut berduka cita
atas meninggalnya nenek Ani.
Berdasarkan perdapat Leech di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat enam maksim yang menjadi prinsip
kesantunan berbahasa, yaitu 1) maksim kebijaksanaan, 2) maksim kedermawanan, 3)
maksim penghargaan, 4) maksim kesederhanaan, 5) maksim permufakatan, 6) maksim
kesimpatisan. Keenam maksim tersebut merupakan aturan yang mengatur peserta
tutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur.
Sedangkan Gries dalam Chaer
(2010: 34-36), ia menyatakan ”Prinsip atau maksim kerja sama dapat digolongkan
ke dalam beberapa kelompok yaitu:
1) Maksim kuantitas, yaitu maksim
yang menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang
secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya.
Misalnya: (1) Ayam saya sudah
bertelur.
(2) Ayam saya yang betina sudah
bertelur.
Dalam tuturan (1) sudah memenuhi
maksim kuantitas karena informasi yang diberikan hanya secukupnya saja, tidak
berlebihan. Sedangkan, dalam tuturan (2) dikatakan tidak memenuhi maksim
kuantitas, karena adanya kata yang betina yang tidak perlu. Hal ini dikarenakan
semua ayam yang bertelur sudah tentu ayam betina. Jadi, kata yang betina pada
tuturan tersebut memberi informasi yang tidak perlu.
2) Maksim kualitas, yaitu maksim
yang menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal yang sebenarnya,
hal yang sesuai dengan data dan fakta. Kecuali barangkali kalau memang tidak tahu.
(1) Guru : Andi, siapa presiden pertama
Republik Indonesia?
Siswa : Jendral Suharto, Bu!
Guru : Bagus, kalau begitu Bung
Karno adalah presiden kedua, ya.
Dalam pertuturan (1) guru
memberikan konstribusi yang melanggar maksim kualitas dengan mengatakan Bung
Karno adalah presiden kedua Republik Indonesia. Konstribusi guru, yang
melanggar maksim kualitas ini diberikan sebagai reaksi terhadap jawaban siswa
yang salah. Dengan konstribusi yang salah ini, maka siswa kemudian secara cepat
akan mencari jawaban mengapa guru membuat pernyataan yang salah tersebut. Kata
bagus yang diucapkan dengan nada mengejek menyadarkan siswa terhadap
kesalahannya.
3) Maksim relevansi, mengharuskan
setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah
atau tajuk pertuturan.
Misalnya: (1) Anak : Bu, ada
telepon untuk Ibu!
Ibu : Ibu sedang di kamar mandi,
Nak.
(2) A : Pak, tadi ada tabrakan
motor dan mobil di jalan.
B : Mana yang menang?
Dalam pertuturan (1), jika
dilihat sepintas jawaban Ibu tidak berhubungan. Namun, bila disimak baik-baik
hubungan itu ada. Jawaban Ibu mengimplikasikan bahwa saat itu Ibu tidak dapat
menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka,
secara tidak langsung Ibu meminta agar si anak menerima telepon tersebut.
Sebaliknya, dalam tuturan (2), komentar B terhadap pernyataan A tidak ada
relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak
ada yang kalah. Kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian. Selain dari
maksud untuk melucu jawaban B pada pertuturan di atas sukar dicari
implikasionalnya.
4) Maksim cara, maksim ini
mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur,
tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut.
Misalnya: (1) A : Kamu datang ke
sini untuk apa?
B : Mengambil hak saya.
(2) A : Nak, suara tangisan siapa
itu?
B : Anak tetangga, Bu!
(3) A : Barusan kamu dari mana?
B : Dari belakang, habis
b-e-r-a-k.
(4) Mulai dari birokrat paling
bawah di tingkat kelurahan ditingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi
di tingkat kementerian melakukan korupsi. Tiap tahun triliun uang negara raib
mereka korup. Perbuatan korupsi telah menggurita dikalangan birokrat di negeri
kita. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa
pejabat terangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas.
Bukan hanya pejabat eksklusif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat
yudikatif.
(5) Perbuatan korupsi telah
menggurita dikalangan birokrat di negeri kita. Mulai dari birokrat paling bawah
di tingkat kelurahan ditingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di
tingkat kementerian. Bukan hanya pejabat dikalangan eksklusif tetapi juga
pejabat legislatif dan pejabat yudikatif. Tiap tahun triliunan uang negara raib
mereka korup. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan
memeriksa pejabat terangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya
divonis bebas.
Dalam pertuturan (1) tidak
menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak saya bisa mengacu pada hak
sepatu, bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya. Dalam pertuturan (2)
termasuk tuturan yang menaati maksim cara karena jawaban yang diberikan oleh si
B jelas dan tidak ambigu serta tidak berlebih-lebihan atau sesuai dengan apa
yang dipertanyakan oleh si A. Begitu juga dalam tuturan (3) termasuk contoh
tuturan pelaksanaan maksim cara yaitu dengan mengeja huruf demi huruf kata
berak . Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga
kesopanan. Selanjutnya dalam tuturan (4) melanggar maksim cara karena tidak
terdapat keruntutan dan penataan kalimatnya tidak teratur sehingga makna
pertuturanya tidak dapat dipahami. Sedangkan dalam pertuturan (5) telah
mengikuti maksim cara karena pertuturan tersebut lebih runtut dalam penyusunan
kalimatnya sehingga mudah dipahami maksud dari tuturan tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa maksim kuantitas maksudnya adalah setiap peserta
tutur diharapkan hanya memberikan informasi secukupnya saja, sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan oleh pihak lawan bicara. Dalam maksim kualitas
mengharapkan pengguna bahasa mengatakan suatu informasi yang sebenarnya sesuai
dengan data-data yang ada, kecuali pihak penutur tidak mengetahui informasi
tersebut. Lalu, maksim relevansi merupakan maksim yang menghendaki setiap
penutur memberikan masukan yang bersangkutan dan sesuai dengan masalah yang
ada. Sedangkan maksim cara adalah suatu aturan yang mengharuskan penutur dan
lawan tutur berbicara secara langsung dan tidak menimbulkan makna ganda.
Maka dapat disimpulkan bahwa
prinsip kerjasama Grice meliputi 1) maksim kuantitas, 2) maksim kualitas, 3)
maksim relevansi/hubungan, dan 4) maksim pelaksanaan/cara. Dalam prinsip kerja
sama ini, penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam percakapan harus saling bekerjasa
sama dan berusaha untuk tidak membingungkan, mempermainkan atau menyembunyikan
suatu informasi yang ada. Dengan demikian, proses komunikasi akan berjalan
dengan lancar.
2.8 Pengertian Customer Service
Wawoluntu dalam bukunya
Dasar-dasar Keterampilan Melayani Nasabah Bank (1997: 1), dalam blog Agussalim
menyatakan bahwa ”Istilah customer service yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia yang artinya melayani nasabah, dalam bidang bisnis secara umum
diartikan sebagai pelayanan pelanggan. Kata customer service berasal dari dua
kata yaitu “ Customer ” yang berarti pelanggan, dan ‘ Service ” yang berarti
pelayanan.”
Selanjutnya, Kasmir dalam bukunya
Etika Customer Service (2004: 201), dalam blog Agussalim menyatakan bahwa
”Pengertian customer service secara umum adalah setiap kegiatan yang
diperuntukkan atau ditujukan untuk memberikan kepuasan nasabah, melalui
pelayanan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan nasabah.
Berdasarkan kedua pendapat di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa Customer Service adalah sebuah unit kerja
yang bertugas untuk melayani nasabah atau calon nasabah. Pelayanan yang
diberikan adalah pelayanan berdasarkan informasi dan pelayanan jasa yang
tujuannya untuk memberikan kepuasan nasabah serta dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan nasabah.
2.9 Pengertian Nasabah
Makna nasabah pada lembaga
perbankan sangat penting. Nasabah itu ibarat nafas yang sangat berpengaruh
terhadap kelanjutan suatu bank. Oleh karena itu bank harus dapat menarik
nasabah sebanyak-banyaknya agar dana yang terkumpul dari nasabah tersebut dapat
diputar oleh bank yang nantinya disalurkan kembali kepada masyarakat yang
membutuhkan bantuan bank.
Menurut Saladin dalam bukunya
Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank (1994: 22), yang dikutip dari Kamus
Perbankan dalam blog Mira, menyatakan bahwa ”Nasabah adalah orang atau badan
yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank˝.
Komaruddin dalam Kamus Perbankan
(1994: 55) dalam blog Mira, menyatakan bahwa ”Nasabah adalah seseorang atau
suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran, deposito atau tabungan serupa
lainnya pada sebuah bank”.
Dari kedua penjelasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa ”Nasabah adalah seseorang ataupun badan usaha yang
mempunyai rekening simpanan dan pinjaman dan melakukan transaksi simpanan dan
pinjaman tersebut pada sebuah bank”.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Data-data
hasil penelitian ini berbentuk penjelasan atau deskripsi data-data hasil
penelitian secara aktual tanpa menggunakan teknik statistik atau angka-angka,
selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif. Metode deskriptif tersebut
digunakan mengingat tujuan penelitian ini ingin menjelaskan tentang kesantunan
berbahasa customer service pada bank di Airmadidi dalam berinteraksi dengan nasabah.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Moleong (2007: 6) yang menjelaskan bahwa ”Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata
dan bahasa pada suatu konteks, khususnya yang alamiah dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah”.
Adapun jenis penelitian ini
adalah penelitian pragmatik. Pragmatik adalah suatu tindakan yang dikaitkan dengan
konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Penelitian pragmatik imperatif
yaitu penelitian yang mempelajari modus-modus yang ditempuh penutur dalam
mengkomunikasikan maksud pertuturannya. Penelitian pragmatik imperatif juga
merupakan kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari
penjelasan yang merujuk kepada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan bahasa
diperlukan pengetahuan dan tata bahasanya yaitu hubungan dengan konteks
pemakainya.
Pada dasarnya, penelitian
pragmatik imperatif merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks
mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan/menelaah makna dalam kaitan dengan
situasi ujaran. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Rahardi (2005: 4)
bahwa ”Makna pragmatik imperatif sebuah tuturan tidak selalu sejalan dengan
wujud konstruksinya melainkan ditentukan oleh konteks situasi tutur yang
menyertai, melingkupi dan melatarbelakanginya”. Peneliti memilih jenis
penelitian ini karena menelaah bahasa lisan tentang kesantunan berbahasa
customer service pada bank di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada
bank yang terdapat di Airmadidi yaitu pada Bank Rakyat Indonesia, pada jam
kerja. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena letak Bank Rakyat Indonesia srategis
dan mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama hingga peneliti
sampai ke tempat tersebut.
3.3 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah
rekaman percakapan customer service pada bank di Airmadidi yaitu Bank Rakyat
Indonesia ketika berinteraksi dengan nasabah. Sedangkan sumber data penelitian
adalah orang yang menjadi customer service dan nasabah pada bank di Airmadidi
yaitu Bank Rakyat Indonesia ketika peneliti mengumpulkan data.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik perekaman, yaitu suatu proses menyalin
ulang suatu objek, berupa suara dalam percakapan customer service pada bank di Airmadidi
yaitu Bank Rakyat Indonesia ketika berinteraksi dengan nasabah.
3.5 Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini diolah
dengan menggunakan teknik analisis secara kualitatif yaitu menganalisis
kesantunan berbahasa customer service pada bank di Kota Bireuen dalam
berinteraksi dengan nasabah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Sugiono
(2009: 337), ia menyatakan bahwa ”Analisis data dalam penelitian kualitatif
dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan
data dalam periode tertentu”.
Data tersebut dianalisis dengan
menggunakan teori Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2009: 337),
mengemukakan bahwa ”Aktifitas dalam analisis kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya
sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu mereduksi data, menyajikan
data dan menyimpulkan data”.
3.6 Pengecekan Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan
data merupakan salah satu bagian yang penting dalam penelitian kualitatif,
yaitu untuk mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang
dilakukan. Apabila peneliti melaksanakan periksaan keabsahan data secara cermat
dan menggunakan teknik-teknik yang tepat, maka akan diperoleh hasil penelitian
yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
http://mirave21.wordpress.com/tag/pengertian-nasabah/diakses tanggal 01 September 2013.
http://solomoncell.wordpress.com/2012/05/03/kesantunan-berbahasa/ diakses tanggal 20 Agustus 2013.
http://tugas2kuliah.wordpress.com/2011/12/14/skripsi-perbankan-perbandingan-tingkat-kepuasan-nasabah-terhadap-pelayanan-customer-service-antara-bri-dan-bank-sulsel/diakses tanggal 01 September 2013.
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (terjemahan M. D. D. Oka). Jakarta: UI Press.
Moleong, Laxy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Malang: IKIP Malang.
Panitia Penyusun. 2008. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua: FKIP Universitas Almuslim.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia). Yogyakarta: Erlangga.
Sadikin, Muhammad. 2011. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan . Jakarta: Laskar Aksara.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan . Bandung: Alfabeta.
Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Posting Komentar
Posting Komentar